Musafir
Untuk dibolehkannya berbuka (tidak puasa) di dalam bepergian (safar) disyaratkan sebagai berikut: Safar harus memenuhi jarak atau kebiasaan perjalan jauh (sesuai perselisihan para ulama di dalam pembatasannya), safar harus melampaui negerinya dan pinggirannya, safar harus bukan untuk tujuan kemaksiatan (sebagaimana pendapat jumhur ulama), dan safar tidak boleh dimaksudkan untuk mencari alasan supaya boleh berbuka (tidak puasa).
Boleh berbuka (tidak puasa) bagi musafir sebagaimana disepakati para ulama, apakah ia mampu berpuasa ataupun tidak, apakah sulit baginya berpuasa ataupun tidak, sampai sekalipun kepergiannya itu selalu ada di bawah naungan (ruang AC, pent.) dan banyak air serta disertai oleh seorang pembantu, tetap diperbolehkan tidak berpuasa dan meng-qashar shalat. [Majmu’ Al-Fatawa, 25/210]
Barangsiapa sudah bertekad untuk bepergian di bulan Ramadhan, maka ia tidak boleh berniat untuk berbuka sebelum ia melakukan safarnya, karena boleh jadi rencana kepergiannya batal karena suatu aral. [Tafsir Al-Qurthubi, 2/210]
Seorang musafir tidak boleh membatalkan puasanya (berbuka) kecuali setelah ia benar-benar keluar dan meninggalkan kampungnya, lalu apabila ia telah terpisah dari bangunan-bangunan yang bersambung dengan kampungnya maka boleh berbuka. Dan demikian pula bila pesawat telah take off (terbang) dan melewati semua bangunan yang menyambung ke kota. Dan jika bandara itu berada di luar kotanya, maka boleh ia berbuka di sana, tetapi jika bandara tersebut di dalam kota atau bersambung dengan kota (di pinggir kota) maka ia tidak boleh berbuka, karena masih terhitung di dalam kota (kampung halaman).
Apabila matahari telah terbenam (ketika si musafir) masih ada di darat ia telah berbuka puasa, kemudian pesawat udara yang dikendarai take off (berang-kat) kemudian melihat matahari, maka ia tidak wajib imsak, karena ia telah menyempurnakan puasanya sehari pe-nuh. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk mengulangi ibadah yang telah ia lakukan. Namun jika pesawat berangkat sebelum matahari terbenam, sedangkan ia berniat menyempurnakan puasa hari itu di dalam perjalanannya, maka ia tidak boleh berbuka sebelum matahari terbenam ketika ia sedang berada di angkasa, dan awak pesawat tidak boleh merendahkan pesawatnya untuk tidak melihat matahari supaya boleh berbuka (ifthar), karena perbuatan itu merupakan tindakan mencari-cari alasan. Akan tetapi jika pesawat turun (merendahkan jarak dari daratan) karena mashlahat penerbangan, lalu matahari tidak tampak, maka boleh berbuka. [Dari fatwanya Syaikh bin Baz secara lisan]
Barangsiapa (musafir) yang telah tiba di suatu negeri dan ia berniat untuk tinggal di situ lebih dari empat hari, maka ia wajib berpuasa, sebagai-mana pendapat jumhur ulama. Maka orang yang bepergian jauh ke luar negeri untuk studi di dalam beberapa bulan atau beberapa tahun, maka menurut Jumhur Ulama, termasuk di dalamnya empat tokoh Madzhab berpendapat bahwa orang itu sama statusnya dengan orang muqim (tinggal di sana) maka ia wajib berpuasa dan shalat secara sempurna.
Apabila seorang musafir mampir di suatu negeri yang bukan negerinya, maka ia tidak wajib imsak kecuali jika ia tinggal di situ lebih dari empat hari, karena tinggal lebih dari empat hari sama hukumnya dengan orang-orang yang muqim. [Lihat Fatawa Ad-Da’wah, Syaikh bin Baz, h.977]
Barangsiapa yang memulai puasanya di saat ia muqim, lalu ia berangkat safar di siang harinya, boleh baginya berbuka, karena Allah subhanahu wata'aala menjadikan safar sebagai sebab diberlakukannya rukhshah (keringanan), sebagaimana firman-Nya,
Boleh berbuka bagi orang yang kebiasaannya dalam perjalanan (safar) bila ia mempunyai tempat (negeri) untuk tinggal, seperti tukang pos yang selalu bepergian untuk maslahat dan kepentingan kaum muslimin (dan begitu pula para awak bus antar kota, awak pesawat dan para pejabat lainnya, dan sekalipun kepergian mereka itu adalah rutinitas harian, dan mereka wajib meng-qadha’). Dan demikian pula para awak kapal laut yang mempunyai tempat khusus di darat untuk peristirahatannya. Adapun orang yang istri dan sarana prasarana bersamanya di kapal dan ia terus menjadi musafir, maka tidak boleh berbuka dan tidak boleh shalat qashar.
Sedangkan orang-orang badui (nomaden) yang hidupnya selalu berpindah-pindah dari musim panas ke musim dingin dan sebaliknya, mereka boleh berbuka dan melakukan qashar. Namun apabila mereka telah berada di tempat di mana mereka tinggal di musim panas atau di musim dingin itu, maka tidak boleh berbuka dan tidak boleh shalat qashar sekalipun mereka selalu menelusuri tempat-tempat gembalaannya. [Lihat Majmu’ Al-Fatawa, Ibnu Taimiyah, 25/213]
Apabila seorang musafir tiba dari perjalanannya di siang hari, maka wajib imsak (tidak makan dan tidak minum), namun dalam masalah ini terjadi perselisihan tajam di antara para ulama [Majmu’ Al-Fatawa, 25/212], dan yang lebih hati-hati adalah melakukan imsak untuk menjaga kehormatan bulan suci Ramadhan, namun ia tetap wajib mengqadha (mengganti puasanya) apakah dia melakukan imsak ataupun tidak.
Apabila puasa telah dimulai di suatu negeri (tempat) lalu ia (musafir) melakukan perjalanan (safar) ke suatu negeri lain yang penduduknya lebih dahulu melakukan puasa daripada negerinya atau lebih belakangan, maka hukum orang musafir itu ikut kepada hukum orang-orang di negeri itu (tempat tujuan), maka ia tidak boleh berbuka kecuali jika penduduk negeri itu berbuka, sekalipun ia harus puasa lebih dari 30 hari, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
Dan jika puasa si musafir itu kurang dari 29 hari maka ia wajib menyem-purnakannya setelah hari Lebaran hingga menjadi 29 hari, karena satu bulan Hijriyah itu tidak kurang dari 29 hari. [Dari fatwanya Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Fatawa Ash-Shiyam, diterbitkan oleh Darul Wathan, h. 15-16]
Setiap penyakit yang melampaui batas kesehatan seseorang, maka orang itu boleh berbuka. Dasarnya adalah firman Allah subhanahu wata'aala :
Adapun sakit ringan, seperti batuk, pusing dan yang serupa tidak boleh berbuka karenanya.
Kalau menurut kedokteran, atau menurut kebiasaan dan pengalamannya atau menurut perkiraannya bahwa puasa akan membuatnya sakit, menambah parah penyakitnya, atau dapat menunda masa kesembuhannya, maka boleh bagi si sakit berbuka, bahkan makruh hukumnya ia berpuasa. Apabila penyakit yang dideritanya sudah kronis, maka si penderita tidak wajib berniat di malam hari untuk berpuasa sekalipun ada kemungkinan besok hari-nya ia akan sembuh, karena yang menjadi pegangan adalah kondisi sekarang.
Jika puasa dapat menyebabkan seseorang pingsan maka ia berbuka dan harus menggantinya. [Al-Fatawa, 25/217] Dan kalau sedang berpuasa ia pingsan di siang hari, lalu sadar sebelum matahari terbenam, maka puasanya sah selagi di pagi harinya ia dalam keadaan puasa. Kalau pingsan itu terjadi sebelum fajar Shubuh hingga matahari terbenam, maka menurut Jumhur Ulama, puasanya tidak sah. Adapun mengqadha puasa bagi orang yang pingsan itu wajib hukumnya, menurut Jumhur Ulama sekalipun masa pingsannya itu lama (berhari-hari). [Al-Mughni ma’a Ash-Syarh Al-Kabir, 1/412, 3/32 dan Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah, 5/268] Sebagian ulama ada yang menfatwakan bahwa orang yang pingsan atau hilang akal sekejap, atau mengkonsumsi obat penenang untuk suatu maslahat hingga hilang rasa sadarnya, jika hal itu terjadi kurang dari tiga hari, maka ia wajib mengganti puasanya, karena dikiaskan kepada orang yang ketiduran, dan jika lebih dari tiga hari, maka ia tidak wajib menggantinya karena dikiaskan dengan orang yang gila. [Dari fatwanya Syaikh bin Baz secara lisan]
Barangsiapa yang tak berdaya kelaparan atau kehausan (karena berpuasa) hingga dikhawatirkan akan membahayakan dirinya atau menghilangkan sebagian inderanya, maka boleh berbuka tetapi wajib mengqadha’ (menggantinya), karena menjaga keselamatan jiwa itu wajib. Dan tidak boleh berbuka kalau hanya sekedar rasa lapar dan haus yang dapat ditahan atau letih atau adanya dugaan akan rasa sakit. Dan begitu pula orang yang bekerja berat tidak boleh berbuka, mereka wajib berniat di malam hari untuk berpuasa; dan jika pekerjaan ditinggalkan akan menyebabkan kemudharatan bagi mereka dan ada rasa kekhawatiran terhadap diri mereka di siang hari atau akan terjadi kesulitan besar hingga mengharuskan mereka berbuka, maka mereka boleh berbuka sekedarnya, lalu imsak (menahan diri) hingga matahari terbenam, dan nanti mereka harus menggantinya (qadha’). Dan bagi para pekerja berat seperti para penambang atau lainnya apabila mereka tidak mampu menanggung beban puasa hendaknya berupaya melakukan pekerjaannya di malam hari, atau mengambil cuti di bulan Ramadhan sekalipun tanpa gaji. Dan jika tidak memungkin-kan cuti, maka hendaknya mencari pekerjaan lain yang memungkinkan baginya untuk dapat mengerjakan dua kewajiban duniawi dan ukhrawi; dan barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Allah memberikannya jalan keluar dan memberinya rizki dari arah yang tiada diduga. [Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah, 10/233, 235]
Musim ujian bagi para siswa itu tidak dapat dijadikan alasan untuk berbuka puasa di bulan Ramadhan, dan tidak boleh menuruti perintah kedua orang tua supaya berbuka karena ujian, sebab kita tidak boleh taat kepada siapapun di dalam kedurhakaan kepada Allahsubhanahu wata'aala. [Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah, 10/241]
Orang sakit yang masih diharapkan bisa sembuh, maka hendaknya ia menunggu kesembuhannya lalu mengganti puasanya, ia tidak boleh membayar fidyah (memberi makanan). Dan orang yang menderita sakit menahun yang tidak dapat diharapkan kesem-buhannya dan begitu pula seorang lansia yang sudah lemah cukup memberikan makanan setiap hari kepada seorang fakir miskin (selama bulan puasa) berupa makanan pokok sebanyak ½ sha’ (kurang lebih 1½ kg beras). Dan fidyah tersebut boleh dibayar satu kali pada akhir bulan Ramadhan diberikan kepada beberapa orang miskin, dan boleh pula diberikan kepada seorang miskin pada tiap hari. Fidyah itu wajib dilaksanakan berupa makanan karena ada nash Al-Qur’an-nya, dan tidak boleh diberikan kepada si miskin berupa uang. [Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah, 10/198] Dan boleh diwakilkan pembelian makanan dan pe-nyerahannya kepada orang yang dapat dipercaya atau lembaga sosial terper-caya.
Orang sakit yang berbuka (tidak berpuasa) pada bulan Ramadhan dan menunggu kesembuhannya supaya da-pat mengganti puasanya, lalu ternyata penyakitnya menahun, maka ia wajib memberi makan seorang fakir miskin setiap hari ia meninggalkan puasa. [Dari fatwanya Syaikh Ibnu Utsaimin] Dan orang yang menunggu kesem-buhan dari penyakit yang masih bisa diharap sembuh lalu meninggal dunia, maka ia tidak mempunyai kewajiban apa-apa dan begitu pula terhadap wali atau ahli warisnya. Dan orang yang penyakitnya menahun lalu tidak ber-puasa (karenanya) dan telah membayar fidyah (memberi makan orang miskin), kemudian dengan kemajuan kedok-teran ia berobat dan berhasil sembuh dari penyakit yang dideritanya, maka ia tidak wajib apa-apa, karena ia telah melakukan kewajibannya pada waktunya. [Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah, 10/195]
Barangsiapa sakit lalu sembuh dan mampu mengganti (mengqadha’) puasanya, namun ia belum mengganti-nya hingga meninggal dunia, maka diambil dari hartanya untuk diberikan kepada orang fakir miskin sebanyak hari-hari puasa yang tidak ia kerjakan. Dan jika ada salah seorang dari kerabat dekatnya (keluarganya) menggantikan puasanya, maka yang demikian itu sah saja; karena ada hadits di dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ.
“Barangsiapa meninggal dunia dan ia mempunyai tanggungan puasa, maka dipuasakan oleh walinya.” [Dari fatwanya Al-Lajnah Ad-Da’imah, majalah Ad-Da’wah, 806]
Wanita dan lelaki yang lanjut usia yang sudah tidak berdaya dan setiap harinya makin bertambah lemah hingga meninggal dunia, keduanya tidak wajib berpuasa, mereka boleh tidak berpuasa selagi tidak mampu melakukan-nya. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu di dalam menafsirkan firman Allahsubhanahu wata'aala :
dengan mengatakan: Ayat ini tidak mansukh (tidak dihapus hukumnya), orang yang dimaksud adalah lelaki dan perempuan yang lanjut usia yang tidak mampu berpuasa, maka keduanya harus memberi makan seorang miskin setiap hari.” [Al-Bukhari, kitab At-Tafsir, bab Ayyamam Ma’duudat]
Adapun orang tua yang sudah lupa ingatan dan pikun, maka ia tidak berkewajiban apa-apa dan begitu pula keluarganya karena ia sudah bebas dari beban kewajiban. Kalau kadang-kadang orang itu masih bisa ingat dan kadang kadang lupa, maka ia wajib berpuasa di waktu masih ada ingatannya dan tidak wajib di waktu hilang ingatannya. [Lihat Majalis Syahr Ramadhan, Ibnu Utsaimin, h. 28]
Barangsiapa berperang melawan musuh atau dikepung musuh di kampungnya sedangkan puasa dapat melemahkan kekuatannya di dalam pertempuran, maka ia boleh berbuka puasa sekalipun tanpa safar (perjalanan jauh), dan demikian pula jikalau ia terpaksa harus berbuka sebelum penyerangan, maka boleh berbuka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda kepada para shahabatnya sebelum peperangan dimulai:
Barangsiapa yang sebab pembatalan puasanya jelas seperti sakit, maka tidak apa-apa ia berbuka secara terang-terangan, dan barangsiapa yang sebab pembatalan puasanya tersembunyi seperti haidh, maka sebaiknya ia berbuka secara sembunyi-sembunyi agar terhindar dari tuduhan.
Boleh berbuka (tidak puasa) bagi musafir sebagaimana disepakati para ulama, apakah ia mampu berpuasa ataupun tidak, apakah sulit baginya berpuasa ataupun tidak, sampai sekalipun kepergiannya itu selalu ada di bawah naungan (ruang AC, pent.) dan banyak air serta disertai oleh seorang pembantu, tetap diperbolehkan tidak berpuasa dan meng-qashar shalat. [Majmu’ Al-Fatawa, 25/210]
Barangsiapa sudah bertekad untuk bepergian di bulan Ramadhan, maka ia tidak boleh berniat untuk berbuka sebelum ia melakukan safarnya, karena boleh jadi rencana kepergiannya batal karena suatu aral. [Tafsir Al-Qurthubi, 2/210]
Seorang musafir tidak boleh membatalkan puasanya (berbuka) kecuali setelah ia benar-benar keluar dan meninggalkan kampungnya, lalu apabila ia telah terpisah dari bangunan-bangunan yang bersambung dengan kampungnya maka boleh berbuka. Dan demikian pula bila pesawat telah take off (terbang) dan melewati semua bangunan yang menyambung ke kota. Dan jika bandara itu berada di luar kotanya, maka boleh ia berbuka di sana, tetapi jika bandara tersebut di dalam kota atau bersambung dengan kota (di pinggir kota) maka ia tidak boleh berbuka, karena masih terhitung di dalam kota (kampung halaman).
Apabila matahari telah terbenam (ketika si musafir) masih ada di darat ia telah berbuka puasa, kemudian pesawat udara yang dikendarai take off (berang-kat) kemudian melihat matahari, maka ia tidak wajib imsak, karena ia telah menyempurnakan puasanya sehari pe-nuh. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk mengulangi ibadah yang telah ia lakukan. Namun jika pesawat berangkat sebelum matahari terbenam, sedangkan ia berniat menyempurnakan puasa hari itu di dalam perjalanannya, maka ia tidak boleh berbuka sebelum matahari terbenam ketika ia sedang berada di angkasa, dan awak pesawat tidak boleh merendahkan pesawatnya untuk tidak melihat matahari supaya boleh berbuka (ifthar), karena perbuatan itu merupakan tindakan mencari-cari alasan. Akan tetapi jika pesawat turun (merendahkan jarak dari daratan) karena mashlahat penerbangan, lalu matahari tidak tampak, maka boleh berbuka. [Dari fatwanya Syaikh bin Baz secara lisan]
Barangsiapa (musafir) yang telah tiba di suatu negeri dan ia berniat untuk tinggal di situ lebih dari empat hari, maka ia wajib berpuasa, sebagai-mana pendapat jumhur ulama. Maka orang yang bepergian jauh ke luar negeri untuk studi di dalam beberapa bulan atau beberapa tahun, maka menurut Jumhur Ulama, termasuk di dalamnya empat tokoh Madzhab berpendapat bahwa orang itu sama statusnya dengan orang muqim (tinggal di sana) maka ia wajib berpuasa dan shalat secara sempurna.
Apabila seorang musafir mampir di suatu negeri yang bukan negerinya, maka ia tidak wajib imsak kecuali jika ia tinggal di situ lebih dari empat hari, karena tinggal lebih dari empat hari sama hukumnya dengan orang-orang yang muqim. [Lihat Fatawa Ad-Da’wah, Syaikh bin Baz, h.977]
Barangsiapa yang memulai puasanya di saat ia muqim, lalu ia berangkat safar di siang harinya, boleh baginya berbuka, karena Allah subhanahu wata'aala menjadikan safar sebagai sebab diberlakukannya rukhshah (keringanan), sebagaimana firman-Nya,
وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ على سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Dan barangsiapa sakit atau di dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wa-jiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu. (Al-Baqarah: 185).Boleh berbuka bagi orang yang kebiasaannya dalam perjalanan (safar) bila ia mempunyai tempat (negeri) untuk tinggal, seperti tukang pos yang selalu bepergian untuk maslahat dan kepentingan kaum muslimin (dan begitu pula para awak bus antar kota, awak pesawat dan para pejabat lainnya, dan sekalipun kepergian mereka itu adalah rutinitas harian, dan mereka wajib meng-qadha’). Dan demikian pula para awak kapal laut yang mempunyai tempat khusus di darat untuk peristirahatannya. Adapun orang yang istri dan sarana prasarana bersamanya di kapal dan ia terus menjadi musafir, maka tidak boleh berbuka dan tidak boleh shalat qashar.
Sedangkan orang-orang badui (nomaden) yang hidupnya selalu berpindah-pindah dari musim panas ke musim dingin dan sebaliknya, mereka boleh berbuka dan melakukan qashar. Namun apabila mereka telah berada di tempat di mana mereka tinggal di musim panas atau di musim dingin itu, maka tidak boleh berbuka dan tidak boleh shalat qashar sekalipun mereka selalu menelusuri tempat-tempat gembalaannya. [Lihat Majmu’ Al-Fatawa, Ibnu Taimiyah, 25/213]
Apabila seorang musafir tiba dari perjalanannya di siang hari, maka wajib imsak (tidak makan dan tidak minum), namun dalam masalah ini terjadi perselisihan tajam di antara para ulama [Majmu’ Al-Fatawa, 25/212], dan yang lebih hati-hati adalah melakukan imsak untuk menjaga kehormatan bulan suci Ramadhan, namun ia tetap wajib mengqadha (mengganti puasanya) apakah dia melakukan imsak ataupun tidak.
Apabila puasa telah dimulai di suatu negeri (tempat) lalu ia (musafir) melakukan perjalanan (safar) ke suatu negeri lain yang penduduknya lebih dahulu melakukan puasa daripada negerinya atau lebih belakangan, maka hukum orang musafir itu ikut kepada hukum orang-orang di negeri itu (tempat tujuan), maka ia tidak boleh berbuka kecuali jika penduduk negeri itu berbuka, sekalipun ia harus puasa lebih dari 30 hari, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ، وَاْلإِفْطَارُ يَوْمَ تَفْطُرُوْنَ.
“Puasa itu adalah pada hari kamu berpuasa dan ifthar itu adalah pada hari kamu ifthar (berhari raya).”Dan jika puasa si musafir itu kurang dari 29 hari maka ia wajib menyem-purnakannya setelah hari Lebaran hingga menjadi 29 hari, karena satu bulan Hijriyah itu tidak kurang dari 29 hari. [Dari fatwanya Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Fatawa Ash-Shiyam, diterbitkan oleh Darul Wathan, h. 15-16]
Orang Yang Sakit
Setiap penyakit yang melampaui batas kesehatan seseorang, maka orang itu boleh berbuka. Dasarnya adalah firman Allah subhanahu wata'aala :
وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ على سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Dan barangsiapa sakit atau sedang di dalam perjalanan (lalu berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya.(Al-Baqarah: 185)Adapun sakit ringan, seperti batuk, pusing dan yang serupa tidak boleh berbuka karenanya.
Kalau menurut kedokteran, atau menurut kebiasaan dan pengalamannya atau menurut perkiraannya bahwa puasa akan membuatnya sakit, menambah parah penyakitnya, atau dapat menunda masa kesembuhannya, maka boleh bagi si sakit berbuka, bahkan makruh hukumnya ia berpuasa. Apabila penyakit yang dideritanya sudah kronis, maka si penderita tidak wajib berniat di malam hari untuk berpuasa sekalipun ada kemungkinan besok hari-nya ia akan sembuh, karena yang menjadi pegangan adalah kondisi sekarang.
Jika puasa dapat menyebabkan seseorang pingsan maka ia berbuka dan harus menggantinya. [Al-Fatawa, 25/217] Dan kalau sedang berpuasa ia pingsan di siang hari, lalu sadar sebelum matahari terbenam, maka puasanya sah selagi di pagi harinya ia dalam keadaan puasa. Kalau pingsan itu terjadi sebelum fajar Shubuh hingga matahari terbenam, maka menurut Jumhur Ulama, puasanya tidak sah. Adapun mengqadha puasa bagi orang yang pingsan itu wajib hukumnya, menurut Jumhur Ulama sekalipun masa pingsannya itu lama (berhari-hari). [Al-Mughni ma’a Ash-Syarh Al-Kabir, 1/412, 3/32 dan Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah, 5/268] Sebagian ulama ada yang menfatwakan bahwa orang yang pingsan atau hilang akal sekejap, atau mengkonsumsi obat penenang untuk suatu maslahat hingga hilang rasa sadarnya, jika hal itu terjadi kurang dari tiga hari, maka ia wajib mengganti puasanya, karena dikiaskan kepada orang yang ketiduran, dan jika lebih dari tiga hari, maka ia tidak wajib menggantinya karena dikiaskan dengan orang yang gila. [Dari fatwanya Syaikh bin Baz secara lisan]
Barangsiapa yang tak berdaya kelaparan atau kehausan (karena berpuasa) hingga dikhawatirkan akan membahayakan dirinya atau menghilangkan sebagian inderanya, maka boleh berbuka tetapi wajib mengqadha’ (menggantinya), karena menjaga keselamatan jiwa itu wajib. Dan tidak boleh berbuka kalau hanya sekedar rasa lapar dan haus yang dapat ditahan atau letih atau adanya dugaan akan rasa sakit. Dan begitu pula orang yang bekerja berat tidak boleh berbuka, mereka wajib berniat di malam hari untuk berpuasa; dan jika pekerjaan ditinggalkan akan menyebabkan kemudharatan bagi mereka dan ada rasa kekhawatiran terhadap diri mereka di siang hari atau akan terjadi kesulitan besar hingga mengharuskan mereka berbuka, maka mereka boleh berbuka sekedarnya, lalu imsak (menahan diri) hingga matahari terbenam, dan nanti mereka harus menggantinya (qadha’). Dan bagi para pekerja berat seperti para penambang atau lainnya apabila mereka tidak mampu menanggung beban puasa hendaknya berupaya melakukan pekerjaannya di malam hari, atau mengambil cuti di bulan Ramadhan sekalipun tanpa gaji. Dan jika tidak memungkin-kan cuti, maka hendaknya mencari pekerjaan lain yang memungkinkan baginya untuk dapat mengerjakan dua kewajiban duniawi dan ukhrawi; dan barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Allah memberikannya jalan keluar dan memberinya rizki dari arah yang tiada diduga. [Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah, 10/233, 235]
Musim ujian bagi para siswa itu tidak dapat dijadikan alasan untuk berbuka puasa di bulan Ramadhan, dan tidak boleh menuruti perintah kedua orang tua supaya berbuka karena ujian, sebab kita tidak boleh taat kepada siapapun di dalam kedurhakaan kepada Allahsubhanahu wata'aala. [Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah, 10/241]
Orang sakit yang masih diharapkan bisa sembuh, maka hendaknya ia menunggu kesembuhannya lalu mengganti puasanya, ia tidak boleh membayar fidyah (memberi makanan). Dan orang yang menderita sakit menahun yang tidak dapat diharapkan kesem-buhannya dan begitu pula seorang lansia yang sudah lemah cukup memberikan makanan setiap hari kepada seorang fakir miskin (selama bulan puasa) berupa makanan pokok sebanyak ½ sha’ (kurang lebih 1½ kg beras). Dan fidyah tersebut boleh dibayar satu kali pada akhir bulan Ramadhan diberikan kepada beberapa orang miskin, dan boleh pula diberikan kepada seorang miskin pada tiap hari. Fidyah itu wajib dilaksanakan berupa makanan karena ada nash Al-Qur’an-nya, dan tidak boleh diberikan kepada si miskin berupa uang. [Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah, 10/198] Dan boleh diwakilkan pembelian makanan dan pe-nyerahannya kepada orang yang dapat dipercaya atau lembaga sosial terper-caya.
Orang sakit yang berbuka (tidak berpuasa) pada bulan Ramadhan dan menunggu kesembuhannya supaya da-pat mengganti puasanya, lalu ternyata penyakitnya menahun, maka ia wajib memberi makan seorang fakir miskin setiap hari ia meninggalkan puasa. [Dari fatwanya Syaikh Ibnu Utsaimin] Dan orang yang menunggu kesem-buhan dari penyakit yang masih bisa diharap sembuh lalu meninggal dunia, maka ia tidak mempunyai kewajiban apa-apa dan begitu pula terhadap wali atau ahli warisnya. Dan orang yang penyakitnya menahun lalu tidak ber-puasa (karenanya) dan telah membayar fidyah (memberi makan orang miskin), kemudian dengan kemajuan kedok-teran ia berobat dan berhasil sembuh dari penyakit yang dideritanya, maka ia tidak wajib apa-apa, karena ia telah melakukan kewajibannya pada waktunya. [Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah, 10/195]
Barangsiapa sakit lalu sembuh dan mampu mengganti (mengqadha’) puasanya, namun ia belum mengganti-nya hingga meninggal dunia, maka diambil dari hartanya untuk diberikan kepada orang fakir miskin sebanyak hari-hari puasa yang tidak ia kerjakan. Dan jika ada salah seorang dari kerabat dekatnya (keluarganya) menggantikan puasanya, maka yang demikian itu sah saja; karena ada hadits di dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ.
“Barangsiapa meninggal dunia dan ia mempunyai tanggungan puasa, maka dipuasakan oleh walinya.” [Dari fatwanya Al-Lajnah Ad-Da’imah, majalah Ad-Da’wah, 806]
Orang Lanjut Usia, Lemah dan Pikun
Wanita dan lelaki yang lanjut usia yang sudah tidak berdaya dan setiap harinya makin bertambah lemah hingga meninggal dunia, keduanya tidak wajib berpuasa, mereka boleh tidak berpuasa selagi tidak mampu melakukan-nya. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu di dalam menafsirkan firman Allahsubhanahu wata'aala :
وَعَلَى الذين يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِن
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin”,dengan mengatakan: Ayat ini tidak mansukh (tidak dihapus hukumnya), orang yang dimaksud adalah lelaki dan perempuan yang lanjut usia yang tidak mampu berpuasa, maka keduanya harus memberi makan seorang miskin setiap hari.” [Al-Bukhari, kitab At-Tafsir, bab Ayyamam Ma’duudat]
Adapun orang tua yang sudah lupa ingatan dan pikun, maka ia tidak berkewajiban apa-apa dan begitu pula keluarganya karena ia sudah bebas dari beban kewajiban. Kalau kadang-kadang orang itu masih bisa ingat dan kadang kadang lupa, maka ia wajib berpuasa di waktu masih ada ingatannya dan tidak wajib di waktu hilang ingatannya. [Lihat Majalis Syahr Ramadhan, Ibnu Utsaimin, h. 28]
Barangsiapa berperang melawan musuh atau dikepung musuh di kampungnya sedangkan puasa dapat melemahkan kekuatannya di dalam pertempuran, maka ia boleh berbuka puasa sekalipun tanpa safar (perjalanan jauh), dan demikian pula jikalau ia terpaksa harus berbuka sebelum penyerangan, maka boleh berbuka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda kepada para shahabatnya sebelum peperangan dimulai:
إِنَّكُمْ مُصْبِحُوا عَدُوِّكُمْ وَالْفِطْرُ أَقْوَى لَكُمْ فَأَفْطِرُوْا.
”Sesungguhnya kalian besok pagi hari akan langsung berhadapan dengan musuh dan berbuka itu lebih membuat kalian kuat, maka berbukalah.” [Diriwayatkan oleh Muslim, 1120, terbitan Abdul Baqi]Barangsiapa yang sebab pembatalan puasanya jelas seperti sakit, maka tidak apa-apa ia berbuka secara terang-terangan, dan barangsiapa yang sebab pembatalan puasanya tersembunyi seperti haidh, maka sebaiknya ia berbuka secara sembunyi-sembunyi agar terhindar dari tuduhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar