Semua Hal-hal Berikut Ini Tidak Membatalkan Puasa
Mencuci telinga, atau memasukkan tetesan ke dalam hidung, atau oksigen yang dimasukkan melalui hidung apabila bagian yang masuk tenggorokan tidak ditelan.
Pil-pil pengobatan yang diletakkan di bawah lidah untuk pengobatan sariawan atau lainnya juga tidak membatalkan puasa selagi dihindari masuknya ke dalam tenggorokan.
Memasukkan alat perekam ke lobang vagina, atau jari untuk pemeriksaan. [Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah, 10/172]
Memasukkan alat pelihat atau spiral atau yang serupa dengannya ke dalam rahim.
Benda yang dimasukkan ke lobang air seni, maksudnya; pipa yang dimasukkan ke lobang tempat aliran air seni pada zakar atau vagina, atau benda yang dihubungkan dengan sinar atau obat, atau tempat untuk membersihkan wadah air seni.
Melobangi gigi atau mencopot gigi geraham atau pembersihan gigi atau bersiwak dan bersikat gigi asal dihindari tertelannya sesuatu ke dalam tenggorokan.
Kumur-kumur dan oksigen buatan yang dilakukan di mulut asal dihindari tertelannya sesuatu ke dalam tenggorokan.
Injeksi pengobatan di tubuh atau pada otot atau pembuluh darah, selain infus pengganti makanan.
Gas oksigen.
Gas pembius yang tidak diberi bahan cair sebagai suplemen.
Benda-benda yang diserap kulit, seperti bahan cairan atau minyak angin atau benda tempelan lainnya yang mengandung bahan medis atau kimia.
Memasukkan selang (pipa kecil) ke urat-urat untuk kepentingan pemotretan atau pengobatan rongga jantung atau anggota badan lainnya.
Memasukkan alat untuk melihat yang dimasukkan ke bagian luar lambung untuk pemeriksaan atau operasi medis.
Mengambil bintik atau bendul-bendul yang ada di dalam hati atau lainnya selagi tidak dibarengi dengan bahan cairan suplemen.
Alat yang digunakan untuk melihat pencernaan bila dimasukkan tidak dibarengi dengan bahan-bahan suplemen atau benda lainnya.
Masuknya alat atau benda medis ke otak atau sumsum.
Hendaknya seorang dokter muslim selalu memberi nasihat kepada pasien untuk menunda hal-hal yang tersebut di atas yang tidak berbahaya atas penundaannya sampai waktu berbuka tiba, karena hal yang demikian itu lebih berhati-hati. [Qararat Majma’ Al-Fiqh Al-Islami, h. 213]
Barangsiapa yang makan atau minum secara sengaja di siang Ramadhan tanpa ada uzur, maka ia telah melakukan salah satu dosa besar; maka ia wajib bertobat dan mengganti puasanya. Dan jika yang dimakan atau diminum itu benda haram, seperti minuman keras, maka dosanya lebih besar dan keji lagi. Maka ia wajib segera bertobat dengan sungguh-sungguh dan memperbanyak melakukan amalan-amalan sunnah berupa puasa dan lainnya, agar ia dapat menutup kewajiban yang dinodainya dan agar Allah berkenan memberinya tobat atasnya.
“Barangsiapa lupa, lalu makan atau minum, maka hendaknya terus berpuasa, karena sesungguhnya ia diberi makan atau minum oleh Allah.” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Al-Fath, no. 1933]
Di dalam riwayat lain disebutkan: ”Maka tidak wajib mengqadha’ atau membayar kaffarat baginya.”
Apabila anda melihat orang yang sedang berpuasa makan karena lupa, maka hendaknya anda ingatkan, karena luasnya cakupan firman Allah subhanahu wata'aala :
وَتَعَاوَنُواْ عَلَى البر والتقوى
“Dan saling tolong menolonglah kamu di dalam kebajikan dan taqwa.”
Dan karena juga luasnya cakupan hadits Rasulullah:
فَإِذَا نَسِيتُ فَذَكِّرُونِي.
“Apabila aku lupa, maka ingatkanlah aku”
Dan karena pada dasarnya hal tersebut adalah merupakan suatu kemunkaran yang wajib diubah. [Majalis Syahr Ramadhan, Ibnu Utsaimin, h. 70]
Orang yang harus berbuka (membatalkan puasanya) karena harus menyelamatkan seseorang dari kebinasaan, maka ia boleh berbuka dan nanti harus menggantinya; sebagaimana seperti harus menyelamatkan orang yang tenggelam dan memadamkan kebakaran.
Orang yang wajib berpuasa lalu melakukan hubungan suami istri (senggama) dengan sengaja dan sadar (tidak terpaksa) di siang bulan Ramadhan, maka ia telah membatalkan puasanya, apakah keluar sperma ataupun tidak. Maka ia wajib segera bertobat dan menyempurnakan puasa hari itu dan wajib pula menggantinya serta wajib membayar kaffarat yang sangat berat. Di dalam hadits Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu dituturkan: Ketika kami sedang duduk di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seketika datang seorang lelaki, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, celaka aku!” Nabi bertanya, “Kenapa?” Ia menjawab, “Aku terlanjur melakukan jima’ terhadap istriku padahal aku sedang berpuasa.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apakah kamu punya hamba sahaya yang bisa kamu merdekakan?” Ia jawab, “Tidak.” Lalu Nabi bersabda, “Apakah kamu mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?” Lelaki itu menjawab, “Tidak.” Nabi bersabda, “Apakah kamu mampu memberikan makan kepada 60 orang miskin?” Orang itu menjawab, “Tidak” (Al-Hadits). [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Al-Fath, no. 1936]
Demikianlah hukumnya, dan begitu pula sama hukumnya bagi orang berbuat zina, homoseks dan menyetubuhi binatang. Dan barangsiapa yang melakukan persetubuhan berulang kali di hari-hari Ramadhan, maka ia wajib membayar kaffarat sebanyak hari pelanggarannya, ditambah dengan mengganti puasa hari-hari itu, dan tidak ada alasan baginya untuk tidak membayar kaffarat sekalipun karena ketidakmengertiannya terhadap kewajiban kaffarat. [Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah, 10/321]
Jika seseorang ingin melakukan persetubuhan terhadap istrinya, lalu terlebih dahulu ia membatalkan puasanya dengan makan, maka kemaksiatannya lebih besar, karena ia telah menodai kehormatan bulan suci Ramadhan dua kali, yaitu dengan makan dan persetubuhannya. Dan kaffaratnya berat dan lebih pasti, dan cara tipu dayanya menjadi malapetaka bagi dirinya dan ia wajib melakukan tobat yang sejati. [Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 25/262].
Mencium, bercumbu, bersentuhan tubuh dengan istri, berpelukan dan memandang istri atau hamba sahayanya berulang-ulang itu boleh saja selagi dapat mengendalikan nafsunya. Di dalam hadits Shahih Al-Bukhari dan Muslim yang bersumber dari Aisyah radhiyallahu ‘anhabeliau menuturkan: “Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mencium (nya) di saat sedang berpuasa, dan bersentuhan tubuh di saat beliau berpuasa pula, akan tetapi Nabi adalah orang yang sangat bisa mengendalikan nafsunya.”
Adapun hadits yang berbunyi:
يَدَعُ زَوْجَتَهُ مِن أَجْلِي
(Ia meninggalkan istrinya karena-Ku), maka yang dimaksud (meninggalkan istrinya pada hadits itu) adalah melakukan jima’.
Akan tetapi jika birahi seseorang cepat bereaksi dan tidak dapat me-ngendalikannya, maka hal di atas tidak boleh ia lakukan, karena dapat menye-babkan puasanya batal dan ia tidak terjamin aman dari keluarnya sperma atau terjerumus di dalam persetubuhan. Allah subhanahu wata'aala telah berfirman di dalam hadits Qudsi: “Ia meninggalkan istrinya demi Aku.” Dan kaidah Agama mengatakan, ”Setiap sarana yang dapat mengantarkan kepada yang diharamkan, maka diharamkan.”
Kalau seseorang melakukan persetubuhan lalu fajar terbit, maka ketika itu wajib menanggalkannya, sedangkan puasanya sah sekalipun keluar sperma setelah dzakarnya dicabut. Adapun kalau persetubuhan dilanjutkan sampai setelah fajar terbit, maka puasanya batal, ia wajib bertobat, mengganti puasa hari itu dan membayar kaffarat berat.
Kalau seseorang masuk ke waktu Shubuh dalam keadaan janabat (junub) maka hal ini tidak merusak puasanya, dan bahkan boleh menunda mandi junub, mandi haidh dan nifas hingga setelah fajar Shubuh terbit, namun ia wajib segera mandi supaya dapat melakukan shalat Shubuh dan agar ia segera didekati oleh para malaikat.
Kalau orang yang sedang berpuasa tidur di siang hari lalu bermimpi hingga keluar sperma, maka puasanya tidak batal secara ijma’, bahkan ia harus menyempurnakan puasanya.
Barangsiapa yang melakukan pengeluaran mani di siang Ramadhan, seperti dengan memainkan kemaluannya atau berulang-ulang memandang lawan jenisnya, ia wajib bertobat kepada Allah dan melakukan imsak pada hari itu serta mengqadha’ puasa hari itu di kemudian hari. Dan jika ia mulai melakukan pengeluaran mani lalu berhenti dan belum keluar maninya, maka ia wajib bertobat dan ia tidak wajib qadha’ karena mani belum keluar. Dan hendaknya setiap orang yang berpuasa menghindari segala sesuatu yang dapat memancing bangkitnya syahwat dan berupaya mengusir bisikan-bisikan jiwa yang jahat.
Adapun keluarnya madzi –sebagaimana pendapat yang kuat– tidak membatalkan puasa. Keluarnya wadi –yaitu cairan bening kental seusai kencing– tanpa ada rasa nikmat juga tidak membatalkan puasa dan tidak mewajibkan mandi, hanya saja wajib dicuci dan berwudhu’. [Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah, 10/179]
“Barangsiapa yang muntah tidak sengaja, maka tidak wajib qadha’, dan barangsiapa yang muntah dengan disengaja, maka wajib mengqadha’. [Hadits shahih diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, 3/89]
Oleh karenanya, barangsiapa yang muntahnya disengaja dengan memasukkan jarinya ke dalam tenggorokannya atau sengaja menekan perutnya atau sengaja mencium bau yang tidak sedap atau sengaja melihat sesuatu yang dapat membuatnya muntah, maka ia wajib qadha’. Kalau setelah mau muntah namun tidak jadi, maka puasanya tidak batal, karena tidak jadi muntah itu bukan atas keinginannya, tetapi kalau ia yang menelannya kembali, maka puasanya batal. Jika perutnya mual, maka ia tidak wajib menahan muntah, karena hal tersebut dapat membahayakannya [Majalis Syahr Ramadhan, Ibnu Utsaimin, h. 76].
Apabila seseorang menelan sesuatu yang menempel di celah-celah giginya dengan tidak sengaja, atau benda itu sangat kecil yang sulit untuk diketahui, maka itu termasuk air liur dan tidak membatalkan. Tetapi kalau benda itu besar dan memungkinkan baginya untuk diludahkan, maka batal puasanya bila ia telan dengan sengaja. [Al-Mughni, 4/47]
Karet, apabila bercampur sesuatu atau mempunyai rasa tambahan atau manis, maka haram mengunyahnya, dan jika rasa manis tersebut sampai ke tenggorokan maka dapat membatalkan.
Setelah air kumur dibuang dari mulut, maka basah atau lembab yang tersisa di mulut itu tidak merusak puasa, karena hal seperti itu sulit dihindari.
Orang yang mimisan (hidung berdarah) puasanya tetap sah, karena mimisan itu timbul bukan atas dasar kehendaknya [Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah, 10/264]. Kalau gusi bernanah atau berdarah karena gosok gigi, maka darah tidak boleh ditelan dan harus diludahkan. Namun jika sebagiannya tertelan tanpa disengaja dan bukan atas kemauannya maka tidak apa-apa; dan demikian pula muntah yang kembali masuk ke tenggorokan tanpa kemauan dirinya, puasanya tetap sah. [Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah, 10/254]
Ingus, yaitu cairan kental yang keluar dari rongga hidung di kepala dan dahak, yaitu cairan kental yang keluar dari dalam dada karena batuk atau berdeham, jika ditelan sebelum sampai ke mulut maka tidak membatalkan puasa, karena sulit dihindari; akan tetapi jika ditelan sesudah sampai di mulut maka pada saat itu puasanya batal. Dan bila ingus atau dahak masuk secara tidak sengaja (tertelan) maka tidak membatalkan.
Menghirup uap air, sebagaimana dilakukan oleh buruh (pekerja) di tempat-tempat penyulingan air tidak membatalkan puasa. [Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah, 10/276]
Dan makruh mencium aroma makanan tanpa keperluan mendesak, karena hal itu dapat mengundang puasa menjadi batal. Termasuk keperluan mendesak adalah mengunyah makanan untuk bayi, kalau hal itu terpaksa harus dilakukan oleh sang ibu, dan mencicipi rasa makanan untuk diketahui sedap atau tidaknya. Demikian pula jika di saat membeli sesuatu dengan terpaksa harus dicicipi. Diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas pernah berkata, “Tidak apa-apa mencicipi cuka atau makanan yang hendak dibeli.” [Dihasankan dalam Irwa’ Al-Ghalil, 4/86. Lihat Al-Fath pada syarh bab ightisal ash-sha’im, dalam kitab Ash-Shiyam]
Bersiwak (gogok gigi dengan siwak) adalah sunnah dilakukan sepanjang hari oleh orang yang sedang berpuasa, sekalipun siwaknya lembab. Kalau seseorang yang sedang berpuasa bersiwak, lalu merasakan rasa pedas atau rasa siwak selain itu, kemudian menelannya, atau ia ludahkan, sedangkan di mulutnya masih ada ludah lalu menggosokkannya kembali dan menelan ludah tersebut, maka tidak apa-apa. [Al-Fatawa Ash-Sa’diyah, 245] Dan hendaknya ia menghindari dan tidak menggunakan siwak yang telah dicampur zat lain, seperti siwak hijau; juga menghindari siwak yang mempunyai rasa tambahan seperti rasa lemon dan menthol. Dan hendaklah ia meludahkan serpihan siwak yang tercecer di mulut, ia tidak boleh menelannya secara sengaja; dan jika tertelan secara tidak sengaja maka puasanya tidak apa-apa.
Segala sesuatu yang menimpa orang yang sedang berpuasa, seperti luka, mimisan atau tersedak air atau bensin ke dalam tenggorokan bukan atas kesengajaan itu tidak merusak puasa. Dan demikian pula debu, asap dan lalat yang masuk ke tenggorokan dengan tidak sengaja, juga tidak membatalkan. Dan sesuatu yang tidak mungkin dapat dihindari, seperti air liur (ludah) tidak membatalkan. Demikian halnya debu jalanan dan debu tepung.
Kalau seseorang mengumpulkan air liurnya di mulut lalu ia telan dengan sengaja, maka puasanya juga tidak batal (menurut pendapat yang lebih shahih). [Al-Mughni, Ibnu Quddamah, 3/106] Demikian pula air mata yang tertelan, atau berminyak rambut atau mengubah warna rambut dengan hanna’, (sejenis tanaman) yang kemudian rasanya terasa di tenggorokan. Dan memakai hanna’ pada anggota badan, bercelak dan berminyak, [Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 25/233, 25/245] memakai hand and body lotion, mencium wangi-wangian (parfum) dan menggunakannya serta gaharu dan lain-lainnya tidaklah mengapa bagi orang yang puasa, asalkan tidak dimasukkan ke dalam hidungnya. [Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah, 10/314]
Sebaiknya tidak memakai pasta gigi di siang hari, karena pasta gigi mempunyai sengatan yang amat kuat. [Majalis Syahr Ramadhan, Ibnu Utsaimin, h. 72]
Sebagai sikap waspada bagi orang yang puasa adalah untuk tidak berbekam, karena perselisihan tentang masalah ini sangat tajam, sehingga Ibnu Taimiyah cenderung kepada pendapat yang mengatakan batal puasa bagi orang yang berbekam (dibekam).
Merokok juga termasuk yang membatalkan puasa, dan bukan alasan untuk meninggalkan puasa karena merokok. Sebab bagaimana akan dimaklumi orang yang melakukan kemaksiatan?!
Menyelam di dalam air atau berselimutkan pakaian basah untuk mendinginkan badan tidak apa-apa dilakukan oleh orang yang sedang berpuasa. Dan tidak mengapa pula menyiramkan air di kepalanya karena kepanasan atau kehausan [Al-Mughni, 3/44], namun makruh hukumnya berenang, karena dapat menyebabkan puasanya batal.
Dan orang yang pekerjaannya menyelam atau pekerjaannya menuntutnya menyelam, selagi ia aman dari masuknya air ke dalam tenggorokannya, maka tidak mengapa.
Kalau seseorang makan atau minum atau melakukan persetubuhan dengan dugaan masih malam (fajar Shubuh belum terbit. pent), namun kemudian ternyata fajar telah terbit, maka tidak mengapa baginya, karena ayat Al-Qur’an membolehkan perbuatan tersebut hingga ada kejelasan. Abdur Razaq telah meriwayatkan dengan sanad yang shahih yang sampai kepada Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu bahwasanya beliau berkata, “Allah menghalalkan makan dan minum bagimu selagi kamu masih ragu.” [Fathul Bari, 4/135. Ini merupakan pendapat yang dipilih oleh Syaikul Islam Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, 29/263]
Kalau seseorang berbuka dengan dugaan bahwa matahari telah terbenam, padahal belum, maka ia wajib mengganti puasanya (menurut jumhur ulama); karena hukum dasarnya adalah masih tetapnya siang; dan keyakinan itu tidak dapat dihilangkan dengan keraguan. Namun Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa “ia tidak wajib mengganti (mengqadha’).
Kalau fajar telah terbit, sedangkan di mulutnya ada makanan atau minuman, maka para ahli Fiqih sepakat bahwa orang itu harus meludahkannya dan puasanya sah. Dan begitu pula hukum orang yang makan atau minum karena lupa, lalu sadar dan di mulutnya ada makanan dan minuman, maka puasanya sah asalkan meludahkan apa yang ada di dalam mulutnya.
Pil-pil pengobatan yang diletakkan di bawah lidah untuk pengobatan sariawan atau lainnya juga tidak membatalkan puasa selagi dihindari masuknya ke dalam tenggorokan.
Memasukkan alat perekam ke lobang vagina, atau jari untuk pemeriksaan. [Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah, 10/172]
Memasukkan alat pelihat atau spiral atau yang serupa dengannya ke dalam rahim.
Benda yang dimasukkan ke lobang air seni, maksudnya; pipa yang dimasukkan ke lobang tempat aliran air seni pada zakar atau vagina, atau benda yang dihubungkan dengan sinar atau obat, atau tempat untuk membersihkan wadah air seni.
Melobangi gigi atau mencopot gigi geraham atau pembersihan gigi atau bersiwak dan bersikat gigi asal dihindari tertelannya sesuatu ke dalam tenggorokan.
Kumur-kumur dan oksigen buatan yang dilakukan di mulut asal dihindari tertelannya sesuatu ke dalam tenggorokan.
Injeksi pengobatan di tubuh atau pada otot atau pembuluh darah, selain infus pengganti makanan.
Gas oksigen.
Gas pembius yang tidak diberi bahan cair sebagai suplemen.
Benda-benda yang diserap kulit, seperti bahan cairan atau minyak angin atau benda tempelan lainnya yang mengandung bahan medis atau kimia.
Memasukkan selang (pipa kecil) ke urat-urat untuk kepentingan pemotretan atau pengobatan rongga jantung atau anggota badan lainnya.
Memasukkan alat untuk melihat yang dimasukkan ke bagian luar lambung untuk pemeriksaan atau operasi medis.
Mengambil bintik atau bendul-bendul yang ada di dalam hati atau lainnya selagi tidak dibarengi dengan bahan cairan suplemen.
Alat yang digunakan untuk melihat pencernaan bila dimasukkan tidak dibarengi dengan bahan-bahan suplemen atau benda lainnya.
Masuknya alat atau benda medis ke otak atau sumsum.
Hendaknya seorang dokter muslim selalu memberi nasihat kepada pasien untuk menunda hal-hal yang tersebut di atas yang tidak berbahaya atas penundaannya sampai waktu berbuka tiba, karena hal yang demikian itu lebih berhati-hati. [Qararat Majma’ Al-Fiqh Al-Islami, h. 213]
Barangsiapa yang makan atau minum secara sengaja di siang Ramadhan tanpa ada uzur, maka ia telah melakukan salah satu dosa besar; maka ia wajib bertobat dan mengganti puasanya. Dan jika yang dimakan atau diminum itu benda haram, seperti minuman keras, maka dosanya lebih besar dan keji lagi. Maka ia wajib segera bertobat dengan sungguh-sungguh dan memperbanyak melakukan amalan-amalan sunnah berupa puasa dan lainnya, agar ia dapat menutup kewajiban yang dinodainya dan agar Allah berkenan memberinya tobat atasnya.
“Barangsiapa lupa, lalu makan atau minum, maka hendaknya terus berpuasa, karena sesungguhnya ia diberi makan atau minum oleh Allah.” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Al-Fath, no. 1933]
Di dalam riwayat lain disebutkan: ”Maka tidak wajib mengqadha’ atau membayar kaffarat baginya.”
Apabila anda melihat orang yang sedang berpuasa makan karena lupa, maka hendaknya anda ingatkan, karena luasnya cakupan firman Allah subhanahu wata'aala :
وَتَعَاوَنُواْ عَلَى البر والتقوى
“Dan saling tolong menolonglah kamu di dalam kebajikan dan taqwa.”
Dan karena juga luasnya cakupan hadits Rasulullah:
فَإِذَا نَسِيتُ فَذَكِّرُونِي.
“Apabila aku lupa, maka ingatkanlah aku”
Dan karena pada dasarnya hal tersebut adalah merupakan suatu kemunkaran yang wajib diubah. [Majalis Syahr Ramadhan, Ibnu Utsaimin, h. 70]
Orang yang harus berbuka (membatalkan puasanya) karena harus menyelamatkan seseorang dari kebinasaan, maka ia boleh berbuka dan nanti harus menggantinya; sebagaimana seperti harus menyelamatkan orang yang tenggelam dan memadamkan kebakaran.
Orang yang wajib berpuasa lalu melakukan hubungan suami istri (senggama) dengan sengaja dan sadar (tidak terpaksa) di siang bulan Ramadhan, maka ia telah membatalkan puasanya, apakah keluar sperma ataupun tidak. Maka ia wajib segera bertobat dan menyempurnakan puasa hari itu dan wajib pula menggantinya serta wajib membayar kaffarat yang sangat berat. Di dalam hadits Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu dituturkan: Ketika kami sedang duduk di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seketika datang seorang lelaki, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, celaka aku!” Nabi bertanya, “Kenapa?” Ia menjawab, “Aku terlanjur melakukan jima’ terhadap istriku padahal aku sedang berpuasa.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apakah kamu punya hamba sahaya yang bisa kamu merdekakan?” Ia jawab, “Tidak.” Lalu Nabi bersabda, “Apakah kamu mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?” Lelaki itu menjawab, “Tidak.” Nabi bersabda, “Apakah kamu mampu memberikan makan kepada 60 orang miskin?” Orang itu menjawab, “Tidak” (Al-Hadits). [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Al-Fath, no. 1936]
Demikianlah hukumnya, dan begitu pula sama hukumnya bagi orang berbuat zina, homoseks dan menyetubuhi binatang. Dan barangsiapa yang melakukan persetubuhan berulang kali di hari-hari Ramadhan, maka ia wajib membayar kaffarat sebanyak hari pelanggarannya, ditambah dengan mengganti puasa hari-hari itu, dan tidak ada alasan baginya untuk tidak membayar kaffarat sekalipun karena ketidakmengertiannya terhadap kewajiban kaffarat. [Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah, 10/321]
Jika seseorang ingin melakukan persetubuhan terhadap istrinya, lalu terlebih dahulu ia membatalkan puasanya dengan makan, maka kemaksiatannya lebih besar, karena ia telah menodai kehormatan bulan suci Ramadhan dua kali, yaitu dengan makan dan persetubuhannya. Dan kaffaratnya berat dan lebih pasti, dan cara tipu dayanya menjadi malapetaka bagi dirinya dan ia wajib melakukan tobat yang sejati. [Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 25/262].
Mencium, bercumbu, bersentuhan tubuh dengan istri, berpelukan dan memandang istri atau hamba sahayanya berulang-ulang itu boleh saja selagi dapat mengendalikan nafsunya. Di dalam hadits Shahih Al-Bukhari dan Muslim yang bersumber dari Aisyah radhiyallahu ‘anhabeliau menuturkan: “Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mencium (nya) di saat sedang berpuasa, dan bersentuhan tubuh di saat beliau berpuasa pula, akan tetapi Nabi adalah orang yang sangat bisa mengendalikan nafsunya.”
Adapun hadits yang berbunyi:
يَدَعُ زَوْجَتَهُ مِن أَجْلِي
(Ia meninggalkan istrinya karena-Ku), maka yang dimaksud (meninggalkan istrinya pada hadits itu) adalah melakukan jima’.
Akan tetapi jika birahi seseorang cepat bereaksi dan tidak dapat me-ngendalikannya, maka hal di atas tidak boleh ia lakukan, karena dapat menye-babkan puasanya batal dan ia tidak terjamin aman dari keluarnya sperma atau terjerumus di dalam persetubuhan. Allah subhanahu wata'aala telah berfirman di dalam hadits Qudsi: “Ia meninggalkan istrinya demi Aku.” Dan kaidah Agama mengatakan, ”Setiap sarana yang dapat mengantarkan kepada yang diharamkan, maka diharamkan.”
Kalau seseorang melakukan persetubuhan lalu fajar terbit, maka ketika itu wajib menanggalkannya, sedangkan puasanya sah sekalipun keluar sperma setelah dzakarnya dicabut. Adapun kalau persetubuhan dilanjutkan sampai setelah fajar terbit, maka puasanya batal, ia wajib bertobat, mengganti puasa hari itu dan membayar kaffarat berat.
Kalau seseorang masuk ke waktu Shubuh dalam keadaan janabat (junub) maka hal ini tidak merusak puasanya, dan bahkan boleh menunda mandi junub, mandi haidh dan nifas hingga setelah fajar Shubuh terbit, namun ia wajib segera mandi supaya dapat melakukan shalat Shubuh dan agar ia segera didekati oleh para malaikat.
Kalau orang yang sedang berpuasa tidur di siang hari lalu bermimpi hingga keluar sperma, maka puasanya tidak batal secara ijma’, bahkan ia harus menyempurnakan puasanya.
Barangsiapa yang melakukan pengeluaran mani di siang Ramadhan, seperti dengan memainkan kemaluannya atau berulang-ulang memandang lawan jenisnya, ia wajib bertobat kepada Allah dan melakukan imsak pada hari itu serta mengqadha’ puasa hari itu di kemudian hari. Dan jika ia mulai melakukan pengeluaran mani lalu berhenti dan belum keluar maninya, maka ia wajib bertobat dan ia tidak wajib qadha’ karena mani belum keluar. Dan hendaknya setiap orang yang berpuasa menghindari segala sesuatu yang dapat memancing bangkitnya syahwat dan berupaya mengusir bisikan-bisikan jiwa yang jahat.
Adapun keluarnya madzi –sebagaimana pendapat yang kuat– tidak membatalkan puasa. Keluarnya wadi –yaitu cairan bening kental seusai kencing– tanpa ada rasa nikmat juga tidak membatalkan puasa dan tidak mewajibkan mandi, hanya saja wajib dicuci dan berwudhu’. [Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah, 10/179]
“Barangsiapa yang muntah tidak sengaja, maka tidak wajib qadha’, dan barangsiapa yang muntah dengan disengaja, maka wajib mengqadha’. [Hadits shahih diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, 3/89]
Oleh karenanya, barangsiapa yang muntahnya disengaja dengan memasukkan jarinya ke dalam tenggorokannya atau sengaja menekan perutnya atau sengaja mencium bau yang tidak sedap atau sengaja melihat sesuatu yang dapat membuatnya muntah, maka ia wajib qadha’. Kalau setelah mau muntah namun tidak jadi, maka puasanya tidak batal, karena tidak jadi muntah itu bukan atas keinginannya, tetapi kalau ia yang menelannya kembali, maka puasanya batal. Jika perutnya mual, maka ia tidak wajib menahan muntah, karena hal tersebut dapat membahayakannya [Majalis Syahr Ramadhan, Ibnu Utsaimin, h. 76].
Apabila seseorang menelan sesuatu yang menempel di celah-celah giginya dengan tidak sengaja, atau benda itu sangat kecil yang sulit untuk diketahui, maka itu termasuk air liur dan tidak membatalkan. Tetapi kalau benda itu besar dan memungkinkan baginya untuk diludahkan, maka batal puasanya bila ia telan dengan sengaja. [Al-Mughni, 4/47]
Karet, apabila bercampur sesuatu atau mempunyai rasa tambahan atau manis, maka haram mengunyahnya, dan jika rasa manis tersebut sampai ke tenggorokan maka dapat membatalkan.
Setelah air kumur dibuang dari mulut, maka basah atau lembab yang tersisa di mulut itu tidak merusak puasa, karena hal seperti itu sulit dihindari.
Orang yang mimisan (hidung berdarah) puasanya tetap sah, karena mimisan itu timbul bukan atas dasar kehendaknya [Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah, 10/264]. Kalau gusi bernanah atau berdarah karena gosok gigi, maka darah tidak boleh ditelan dan harus diludahkan. Namun jika sebagiannya tertelan tanpa disengaja dan bukan atas kemauannya maka tidak apa-apa; dan demikian pula muntah yang kembali masuk ke tenggorokan tanpa kemauan dirinya, puasanya tetap sah. [Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah, 10/254]
Ingus, yaitu cairan kental yang keluar dari rongga hidung di kepala dan dahak, yaitu cairan kental yang keluar dari dalam dada karena batuk atau berdeham, jika ditelan sebelum sampai ke mulut maka tidak membatalkan puasa, karena sulit dihindari; akan tetapi jika ditelan sesudah sampai di mulut maka pada saat itu puasanya batal. Dan bila ingus atau dahak masuk secara tidak sengaja (tertelan) maka tidak membatalkan.
Menghirup uap air, sebagaimana dilakukan oleh buruh (pekerja) di tempat-tempat penyulingan air tidak membatalkan puasa. [Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah, 10/276]
Dan makruh mencium aroma makanan tanpa keperluan mendesak, karena hal itu dapat mengundang puasa menjadi batal. Termasuk keperluan mendesak adalah mengunyah makanan untuk bayi, kalau hal itu terpaksa harus dilakukan oleh sang ibu, dan mencicipi rasa makanan untuk diketahui sedap atau tidaknya. Demikian pula jika di saat membeli sesuatu dengan terpaksa harus dicicipi. Diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas pernah berkata, “Tidak apa-apa mencicipi cuka atau makanan yang hendak dibeli.” [Dihasankan dalam Irwa’ Al-Ghalil, 4/86. Lihat Al-Fath pada syarh bab ightisal ash-sha’im, dalam kitab Ash-Shiyam]
Bersiwak (gogok gigi dengan siwak) adalah sunnah dilakukan sepanjang hari oleh orang yang sedang berpuasa, sekalipun siwaknya lembab. Kalau seseorang yang sedang berpuasa bersiwak, lalu merasakan rasa pedas atau rasa siwak selain itu, kemudian menelannya, atau ia ludahkan, sedangkan di mulutnya masih ada ludah lalu menggosokkannya kembali dan menelan ludah tersebut, maka tidak apa-apa. [Al-Fatawa Ash-Sa’diyah, 245] Dan hendaknya ia menghindari dan tidak menggunakan siwak yang telah dicampur zat lain, seperti siwak hijau; juga menghindari siwak yang mempunyai rasa tambahan seperti rasa lemon dan menthol. Dan hendaklah ia meludahkan serpihan siwak yang tercecer di mulut, ia tidak boleh menelannya secara sengaja; dan jika tertelan secara tidak sengaja maka puasanya tidak apa-apa.
Segala sesuatu yang menimpa orang yang sedang berpuasa, seperti luka, mimisan atau tersedak air atau bensin ke dalam tenggorokan bukan atas kesengajaan itu tidak merusak puasa. Dan demikian pula debu, asap dan lalat yang masuk ke tenggorokan dengan tidak sengaja, juga tidak membatalkan. Dan sesuatu yang tidak mungkin dapat dihindari, seperti air liur (ludah) tidak membatalkan. Demikian halnya debu jalanan dan debu tepung.
Kalau seseorang mengumpulkan air liurnya di mulut lalu ia telan dengan sengaja, maka puasanya juga tidak batal (menurut pendapat yang lebih shahih). [Al-Mughni, Ibnu Quddamah, 3/106] Demikian pula air mata yang tertelan, atau berminyak rambut atau mengubah warna rambut dengan hanna’, (sejenis tanaman) yang kemudian rasanya terasa di tenggorokan. Dan memakai hanna’ pada anggota badan, bercelak dan berminyak, [Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 25/233, 25/245] memakai hand and body lotion, mencium wangi-wangian (parfum) dan menggunakannya serta gaharu dan lain-lainnya tidaklah mengapa bagi orang yang puasa, asalkan tidak dimasukkan ke dalam hidungnya. [Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah, 10/314]
Sebaiknya tidak memakai pasta gigi di siang hari, karena pasta gigi mempunyai sengatan yang amat kuat. [Majalis Syahr Ramadhan, Ibnu Utsaimin, h. 72]
Sebagai sikap waspada bagi orang yang puasa adalah untuk tidak berbekam, karena perselisihan tentang masalah ini sangat tajam, sehingga Ibnu Taimiyah cenderung kepada pendapat yang mengatakan batal puasa bagi orang yang berbekam (dibekam).
Merokok juga termasuk yang membatalkan puasa, dan bukan alasan untuk meninggalkan puasa karena merokok. Sebab bagaimana akan dimaklumi orang yang melakukan kemaksiatan?!
Menyelam di dalam air atau berselimutkan pakaian basah untuk mendinginkan badan tidak apa-apa dilakukan oleh orang yang sedang berpuasa. Dan tidak mengapa pula menyiramkan air di kepalanya karena kepanasan atau kehausan [Al-Mughni, 3/44], namun makruh hukumnya berenang, karena dapat menyebabkan puasanya batal.
Dan orang yang pekerjaannya menyelam atau pekerjaannya menuntutnya menyelam, selagi ia aman dari masuknya air ke dalam tenggorokannya, maka tidak mengapa.
Kalau seseorang makan atau minum atau melakukan persetubuhan dengan dugaan masih malam (fajar Shubuh belum terbit. pent), namun kemudian ternyata fajar telah terbit, maka tidak mengapa baginya, karena ayat Al-Qur’an membolehkan perbuatan tersebut hingga ada kejelasan. Abdur Razaq telah meriwayatkan dengan sanad yang shahih yang sampai kepada Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu bahwasanya beliau berkata, “Allah menghalalkan makan dan minum bagimu selagi kamu masih ragu.” [Fathul Bari, 4/135. Ini merupakan pendapat yang dipilih oleh Syaikul Islam Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, 29/263]
Kalau seseorang berbuka dengan dugaan bahwa matahari telah terbenam, padahal belum, maka ia wajib mengganti puasanya (menurut jumhur ulama); karena hukum dasarnya adalah masih tetapnya siang; dan keyakinan itu tidak dapat dihilangkan dengan keraguan. Namun Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa “ia tidak wajib mengganti (mengqadha’).
Kalau fajar telah terbit, sedangkan di mulutnya ada makanan atau minuman, maka para ahli Fiqih sepakat bahwa orang itu harus meludahkannya dan puasanya sah. Dan begitu pula hukum orang yang makan atau minum karena lupa, lalu sadar dan di mulutnya ada makanan dan minuman, maka puasanya sah asalkan meludahkan apa yang ada di dalam mulutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar