Hati hanyalah segumpal daging dan tempat sesuatu. Hanya saja karena sesuatu yang tersimpan di dalam hati itu begitu misterius dan sulit untuk digambarkan dan diungkapkan maka lafaz hati sering digunakan dan diucapkan untuk menggambarkan sesuatu itu padahal yang diungkapkan adalah nama tempatnya. Uslub seperti ini sering digunakan oleh orang-orang Arab. Sebagaimana yang dicontohkan oleh Al-Quran sebagai wahyu yang diturunkan mengikuti uslub orang-orang Arab,
مِنْكُمْ مَنْ يُرِيدُ الدُّنْيَا وَمِنْكُمْ مَنْ يُرِيدُ الْآَخِرَة ( ال عمران : 152 )
“…di antara kamu ada yang menginginkan dunia dan di antara kamu ada yang menginginkan akhirat…”
Sebenarnya yang diinginkan adalah bukan dunia dan bukan pula akhiratnya tetapi apa-apa yang ada di dalam dunia dan akhiratdari berbagai kenikmatan.
Dan para ulama sering mengatakan dunia ini hina. Maka sesungguhnya yang dimaksud adalah bukan dunianya tetapi kemaksiatan-kemaksiatan makhluk yang ada di dunia.
Di atas telah kita singgung sedikit bahwa akal ada di dalam hati tetapi akal hanyalah salah satu sifat daripada benda yang misterius itu. Masih ada sifat-sifatnya yang lain yang juga ada di dalam hati seperti ilmu ( terkadang para ulama menyamakannya dengan akal ), iman, cinta, senang, rindu, sesal, sedih, takut, cemas, harap, ikhlas, sabar, ridho, benci, dengki, takabbur, bangga, khianat dan sebagainya. Bukankah itu semua adanya di dalam hati. Buktinya ketika anda mencintai seseorang maka yang menggebu-gebu adalah apa yang ada di dalam dada. Ketika anda merasa cemas maka tangan anda akan mengusap-ngusap dada. Begitu pula ketika takabbur dan bangga maka yang ditepuk-tepuk adalah dada. Tidak pernah anda melakukan itu semua di kepala anda.
Lantas apakah sesuatu itu yang begitu misteriusnya hingga kita tidak dapat mengetahui hakekatnya. Jawabnya itulah dia ruh. Tidak ada yang mengetahui hakekatnya melainkan Allah SWT. Kita tidak mengetahui bagaimana bentuk dan zatnya namun kita dapat mengetahuinya melalui sifat-sifat dan ahwalnya saja[1] sebagaimana kita tidak dapat mengetahui Allah melainkan melalui sifat-sifat dan asma’nya.[2]
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا (الإسراء : 85 )
“…dan mereka akan menanyakanmu tentang ruh maka katakanlah ruh itu adalah daripada urusan Tuhanku dan tidaklah Aku berikan kamu daripada pengetahuan tentangnya melainkan sedikit.”
Mungkin yang sedikit itu adalah ilmu tentang sifat-sifat dan ahwalnya yang selalu menjadi objek pembahasan ulama-ulama tasawuf.
Ruh juga menjalankan fungsi ganda. Ia tidak hanya sumber kebaikan tetapi juga penopang kehidupan.
ثُمَّ سَوَّاهُ وَنَفَخَ فِيهِ مِنْ رُوحِهِ (السجدة :9)
“Kemudian Allah menyempurnakan ( penciptaan Adam ) dan meniupkan ruh-Nya kepadanya…”
Ini adalah sebuah bukti bahwa ruhlah yang menjadi sebab kehidupan. Bukan jantung, hati, otak, darah, hormon dan sebagainya. Tidakkah kita lihat begitu banyak orang yang meninggal dengan kondisi fisik yang sehat. Susunan organ dan tubuh yang lengkap dan kondisi darah yang tidak berubah sama sekali namun kenapa kehidupan hilang begitu saja dari jasad mereka. Padahal kondisi organ-organ tubuh mereka setelah meninggal sama persis dengan kondisi sebelum meninggal dan tidak ada perubahan yang signifikan. Jawabnya tidak lain adalah ruh telah tiada dari tubuh mereka.
Dengan ruh pula manusia merasakan sesuatu seperti rasa sakit, perih, panas, dingin dan segala rasa. Jika tidak ada ruh mustahil manusia merasakan itu semua. Anda boleh mencubit mayat yang sedang terbaring dipembaringannya apakah ia akan berteriak dan mengatakan “auw…”. Jika ini terjadi pasti seluruh pelayat akan kabur.
Bahkan ruh juga dikembalikan lagi ke jasad manusia di alam barzah dan di akhirat nanti agar jasad merasakan sakit dan perihnya siksaan sebab tanpa ruh jasad tidak dapat merasakan azab.
Jika yang menerima rangsangan-rangsangan zohir saja adalah ruh apatah lagi rangsangan-rangsangan batin jelas itu memang tugas ruh.
Ruh adalah sebagaimana yang didefinisikan oleh Imam Haramain :
اٍنها جسم لطيف شفاف مشتبك بالجسم كاشتباك الماء بالعوم الأخضر فتكون سارية في جميع البدن
“Sesungguhnya ruh adalah benda halus yang jernih ( seperti air tembus pandang dan tidak berwarna ) yang mengalir di seluruh jasad sebagaimana air mengalir di………maka ruh itu mengalir ke seluruh tubuh.”[3]
Ruh memang diciptakan halus agar nantinya ia menangkap benda-benda yang halus pula seperti bisikan-bisikan Allah dan bisikan-bisikan malaikat, ilmu, hidayah dan hikmah. Sebagaimana semakin halus suatu benda maka kita semakin membutuhkan alat yang makin halus pula untuk menangkap benda halus tersebut. Untuk menyaring sebuah bakteri misalnya tentulah tidak mungkin kita melakukannya dengan saringan teh tetapi membutuhkan sebuah saringan khusus yang lebih halus lagi.
Dan yang paling penting adalah ruh itu diciptakan untuk mengenal penciptanya.
أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْناَ (الأعراف : 172 )
“Allah berfirman: Bukankah aku Tuhanmu? Merekapun menjawab ya ( Engkau Tuhan kami ) kami bersaksi…”
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ (الذاريات : 56)
“Dan tidaklah aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.”Banyak di antara para mufassirin menafsirkan إِلَّا لِيَعْبُدُونdengan arti إلا ليعرفون( agar mereka mengenal-Ku ). Di antaranya adalah Ibnu Abbas sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Alusi dalam tafsirnya Ruh Al-Ma’ani,
فسر ابن عباس قوله تعالى : { وَمَا خَلَقْتُ الجن والإنس إِلاَّ لِيَعْبُدُونِ } [ الذاريات : 56 ] بقوله : إلا ليعرفون وهي تسعة وتسعون سهماً بعدد الأسماء الإلهية التي من أحصاها دخل الجنة
“Ibnu Abbas telah menafsirkan ayat { وَمَا خَلَقْتُ الجن والإنس إِلاَّ لِيَعْبُدُونِ } dengan إلا ليعرفونdan itulah sembilan puluh sembilan anak panah dengan jumlah nama-nama ilahiyah yang siapa menghitungnya akan masuk surga.”
Tafsiran ini diikuti oleh Mujahid murid Ibnu Abbas sebagaimana yang dipilih oleh Al-Bughawi dalam tafsirnya yang tidak kita ragukan lagi keimaman tafsir mereka berdua. Begitu pula Imam Ja’far Ash Shadiq sebagaimana yang dipaparkan oleh Ibnu Ajibah[4] dan Ibnu Juraij sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Katsir.[5] Saya piker tafsiran mereka tidak berlebihan sebab memang ibadah adalah wasilah dan sebab untuk mengenal dan mengetahui dengan sebenar-benarnya akan Allah SWT. Mengenal Allah inilah yang disebut dengan ma’rifat. Ma’rifat kepada Allah hanya dapat ditempuh dengan beribadah kepada-Nya. Dan ayat menempuh uslub dengan menyebutkan wasilah atau sebabnya saja. Dan mayoritas ulama tasawuf mengambil tafsiran ini sebab mereka mengambil intinya bukan bungkusnya..
Mari kita buktikan apakah tafsiran mereka itu dapat diterima. Allah SWT adalah sang pencipta ( الخالق ). Maka Ia menciptakan makhluk agar ada yang mengetahui bahwa Dialah sang pencipta. Allah bersifat pengasih ( الرحمن) dan penyayang ( الرحيم) maka diciptakan rezeki dan nikmat agar kita tahu bahwa Allah pengasih dan penyayang. Begitu pula Allah SWT bersifat pengampun ( الغفار) maka diciptakanlah dosa agar kita mengetahui bahawa Allah maha pengampun. Kalau tidak ada dosa bagaimana mungkin kita tahu bahwa Allah maha pengampun. Begitu pula Allah bersifat pemaksa ( الجبار) maka segala kehendak kita kalau tidak sejalan dengan kehendak Allah pasti yang terjadi adalah kehendak Allah dan bukan kehendak kita. Agar kita tahu bahwa Allah maha memaksakan kehendakNya.
Allah SWT bersifat adil ( العادل) maka diciptakan neraka agar ada kebaikan dan keburukan. Kebaikan itu ada karena ada keburukan. Kalau keburukan tidak ada maka kata kebaikan itu sendiri tidak akan pernah ada.
Contoh sederhana : kalau semua wanita berparas cantik tidak ada satupun yang berparas jelek maka kata “cantik” itu saja sendiripun mungkin tidak akan pernah ada. Sebab kata cantik ada jika ada lawannya yaitu jelek. Begitu pula jika hari tiada malam, maka siang tidak akan pernah ada. Jika semuanya hitam maka putih, merah dan hijau tidak akan pernah ada. Jika iblis dan setan tidak ada maka malaikat tidak akan pernah ada. Jika laki-laki tidak ada maka perempuan tidak akan pernah ada. Buat apa diciptakan laki-laki kalau perempuannya tidak ada?! Tanpa berdoapun, Adam AS pasti akan diberikan Hawa juga oleh Allah SWT. Agar kita tahu bahwa Allah maha adil dan maha bijaksana.
Jika dunia ini isinya hanya kebaikan saja dan seluruh makhluk beramal soleh tidak ada satupun yang ingkar. Ibarat sebuah film seluruh pelakonnya adalah pentagonis[6] tidak ada antagonisnya[7]. Tidak ada musuh, tidak ada konflik, dan tidak ada klimaksnya. Pastilah film ini tidak ada yang mau menonton dan sudah diketahui jalan ceritanya.
Apakah lagi “film” Allah SWT tentu maha suci dari segala kekurangan itu. Pastilah Allah sebaik-baiknya sutradara sekaligus produser yang menskenario sebaik-baiknya film yang pernah ada di alam jagat raya ini. Subhanallah Al-Alim Al Khobir.
Kesimpulannya semuanya akan berujung kepada ma’rifat Allah dan itulah tujuan penciptaan makhluk.
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ (الذاريات : 56)
Bukankah Allah tidak membutuhkan ibadah kita?!
Ya memang benar Allah juga tidak membutuhkan agar kita mengenalnya tapi Allah menyukai, menginginkan dan menghendaki agar hubungan antara kita dengan-Nya adalah hubungan cinta antara kekasih bukan hubungan antara tuan dengan budak yang penuh dengan pemaksaan.
Dikutip dari :http://harislangkat.blog.friendster.com
[1] Iman, cinta, senang, rindu, sesal, sedih, takut, cemas, harap, ikhlas, sabar, ridho, benci, dengki, takabbur, bangga, khianat dan sebagainya.
[2] Nama-namanya
[3] Tuhfatul Murid karya Syaikh Al-Baijuri cet. Darul Kutub Beirut Hal. 181
[4] Tafsir Bahrul Madid karya Ibnu Ajibah Hal.225 Jilid 7 Cet. Maktabah Taufiqiyah Kairo
[5] Tafsir Ibnu Katsir Hal. 306 Jilid 4 Cet. Darul Fajri Lit-Turats Kairo
[6] Peran baik.
[7] Peran jahat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar